Bandung, GB - Ketenagakerjaan merupakan bidang yang sangat vital sebagai penghasil pendapatan bagi suatu daerah. Namun, kesejahteraan dan aspek kelayakan hak yang diterima tenaga kerjapun harus memadai. Karena itu, BPPerda memngonsultasikan berkaitan dengan hak tersebut kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendageri) untuk mendapatkan kejelasan mengenai perubahan Perda no. 6 tahun 2014 tentang penyelenggaraan Ketenagakerjaan.
Ketua BP Perda DPRD Jabar, Yusuf Puadz mengatakan, Perda no. 6 tahun 2014 tentang ketenagakerjaaan tersebut sudah disosialisasikan kepada masyarakat Jabar. Namun sebagian tenaga kerja justru menyanggahnya dengan alasan yang tidak jelas. Berkaitan dengan masalah itu, BPP Perda mengusulkan untuk membatalkan perda tersebut. Hal itu sepenuhnya ada dalam kewenangan Mahkamah Agung (MA). tetapi, paska di buatkannya UU no. 23 tahun 2014, Kementerian boleh membatalkan perda tersebut dan didalam pembentukan perda tentang pembentukan Perda kita telah mencantumkan salah satu prioritas ketika perda itu dibatalkan maka itu masuk kedalam Propemperda. Kasus ini menjadi salah satu acuan prioritas pada promperda yang akan datang.
“Problematikanya mungkin kalau turun keputusan MK tentang UU No 13 kemudian Perda No 6 Tahun 2014 Ujimateri ditingkat MA, seperti apa nanti kita sikapinya,” ujar Yusuf di Kemendagri Jakarta.
Dia menambahkan, dalam perubahan raperda tersebut berdampak pada perubahan menyeluruh, termasuk aspirasi yang muncul didaerah berkaitan dengan kabupaten/Kota untuk memprioritaskan tenaga kerja setempat. Namun hal itu bertentangan dengan undang-undang yang berarti ada nilai keharusan. Sedangkan, dalam menysun sebuah kebijakan tidak seharusnya memihak.
“Termasuk penegakan Perda ini juga mengatur pengawasan tenaga kerja. Masalah UMR itu tidak diatur tetapi diatur dengan Pergub,” katanya.
Sementara itu, Kepala Sub Bagian Wilayah II untuk Jawa –Bali Biro Hukum Kemendagri, Kunto mengatakan, sehubungan dengan diberlakukannya Undang-undang no. 23 tahun 2014 tentang penyelenggaraan Pemerintahan Daerah maka berkaitan dengan Perda no. 6 tahun 2014 sudah tidak berlaku dan harus membuat perda baru. Kebijakan yang bersifat multitafsir harus segera dilakukan perubahan agar tidak mengakar dimasyarakat. Sehingga, penjelasan dalam perda tersebut dapat diterima dengan baik masyarakat.
“Misalnya masalah penentuan Jam kerja, Kemenaker meminta untuk pencantuman keseluruhan jam kerja seperti yang dituangkan dalam UU itu. Jadi tidak bisa hanya sebagian,” tandas Kunto.
Ketua BP Perda DPRD Jabar, Yusuf Puadz mengatakan, Perda no. 6 tahun 2014 tentang ketenagakerjaaan tersebut sudah disosialisasikan kepada masyarakat Jabar. Namun sebagian tenaga kerja justru menyanggahnya dengan alasan yang tidak jelas. Berkaitan dengan masalah itu, BPP Perda mengusulkan untuk membatalkan perda tersebut. Hal itu sepenuhnya ada dalam kewenangan Mahkamah Agung (MA). tetapi, paska di buatkannya UU no. 23 tahun 2014, Kementerian boleh membatalkan perda tersebut dan didalam pembentukan perda tentang pembentukan Perda kita telah mencantumkan salah satu prioritas ketika perda itu dibatalkan maka itu masuk kedalam Propemperda. Kasus ini menjadi salah satu acuan prioritas pada promperda yang akan datang.
“Problematikanya mungkin kalau turun keputusan MK tentang UU No 13 kemudian Perda No 6 Tahun 2014 Ujimateri ditingkat MA, seperti apa nanti kita sikapinya,” ujar Yusuf di Kemendagri Jakarta.
Dia menambahkan, dalam perubahan raperda tersebut berdampak pada perubahan menyeluruh, termasuk aspirasi yang muncul didaerah berkaitan dengan kabupaten/Kota untuk memprioritaskan tenaga kerja setempat. Namun hal itu bertentangan dengan undang-undang yang berarti ada nilai keharusan. Sedangkan, dalam menysun sebuah kebijakan tidak seharusnya memihak.
“Termasuk penegakan Perda ini juga mengatur pengawasan tenaga kerja. Masalah UMR itu tidak diatur tetapi diatur dengan Pergub,” katanya.
Sementara itu, Kepala Sub Bagian Wilayah II untuk Jawa –Bali Biro Hukum Kemendagri, Kunto mengatakan, sehubungan dengan diberlakukannya Undang-undang no. 23 tahun 2014 tentang penyelenggaraan Pemerintahan Daerah maka berkaitan dengan Perda no. 6 tahun 2014 sudah tidak berlaku dan harus membuat perda baru. Kebijakan yang bersifat multitafsir harus segera dilakukan perubahan agar tidak mengakar dimasyarakat. Sehingga, penjelasan dalam perda tersebut dapat diterima dengan baik masyarakat.
“Misalnya masalah penentuan Jam kerja, Kemenaker meminta untuk pencantuman keseluruhan jam kerja seperti yang dituangkan dalam UU itu. Jadi tidak bisa hanya sebagian,” tandas Kunto.