Bandung, GB - Pada 9 Mei lalu, Presiden Jokowi di Jayapura memberikan grasi terhadap lima narapidana politik (napol), diantaranya Apotnalogolik Lokobal dan Numbungga Telenggen.
Namun pembebasan tersebut menimbulkan pro dan kontra, bahkan kalangan DPR pun ikut bersuara seperti Tantowi Yahya. Wakil Ketua Komisi I Partai Golkar ini menolak kebijakan tersebut. Alasannya tidak berdasar dan tanpa tujuan jelas. Tantowi berpendapat harus ada road map penyelesaian kasus Papua yang lebih komprehenshif.
Lain hal nya dengan Drs. Nurhadi Saleh, Ketua Lembaga Studi Pengembangan Pedesaan (LSPP) Bogor, menurutnya pemerintah harus segera menyiapkan Grand Design (kerangka besar) bagi eks tahanan politik (tapol) dan narapidana politik (napol).
Hal ini penting agar setelah bebas, para eks tapol napol benar-benar kembali kepada jiwa Pancasila dan NKRI.
"Pembebasan tapol napol sebagai upaya penegakan ham (selain upaya politis). Namun yang sangat penting pasca pembebasan bagaimana?" tanya Nurhadi saat seminar Pembebasan tapol napol untuk mewujudkan Indonesia yang damai dan bersatu yang digelar Prima Potensia Indonesia di IKA Unpad Bandung kemarin.
Menurutnya pemerintah harus segera menyiapkan grand design termasuk berkoordinasi dari tingkat pusat hingga daerah. Selanjutnya bagaimana apa seperti di Aceh, diberikan kerja di lsm atau ngo asing dengan gaji Rp 25 juta, tapi yang dibawahnya berjumlah ratusan bahkan ribuan orang bagaimana? Atau seperti di Yogyakarta, diberikan modal lalu habis?
"Harus ada grand design, kerangka besarnya agar para tapol napol ini tidak kembali lagi atau berseberangan dengan pemerintah," kata Nurhadi.
Senada, Owyn Jamasi Jamaluddin, Direktur Laboratorium Ilmu Pengkajian Indonesia yang juga dosen UI ini mengungkapkan, pemerintah dinilai belum serius menangani tapol napol.
"Yang paling menakutkan dari tapol napol adalah pemahaman ideologi, apalagi ideologinya berbeda dengan pancasila atau nkri, kan sangat berbahaya, bukan seperti tahanan perampokan atau kriminal," katanya.
Karena itu dia berharap sudah seharusnya semua pemegang keputusan baik yudikatif maupun eksekutif (Dprd, kadis, jaksa hakim, Bupati Gubernur) idealnya bersatu menangani masalah ini.
"Tidak boleh bertentangan, yang menjadi banyak perbedaan karena ada konflik kepentingan interes," pungkas Owy. (Mal)
Namun pembebasan tersebut menimbulkan pro dan kontra, bahkan kalangan DPR pun ikut bersuara seperti Tantowi Yahya. Wakil Ketua Komisi I Partai Golkar ini menolak kebijakan tersebut. Alasannya tidak berdasar dan tanpa tujuan jelas. Tantowi berpendapat harus ada road map penyelesaian kasus Papua yang lebih komprehenshif.
Lain hal nya dengan Drs. Nurhadi Saleh, Ketua Lembaga Studi Pengembangan Pedesaan (LSPP) Bogor, menurutnya pemerintah harus segera menyiapkan Grand Design (kerangka besar) bagi eks tahanan politik (tapol) dan narapidana politik (napol).
Hal ini penting agar setelah bebas, para eks tapol napol benar-benar kembali kepada jiwa Pancasila dan NKRI.
"Pembebasan tapol napol sebagai upaya penegakan ham (selain upaya politis). Namun yang sangat penting pasca pembebasan bagaimana?" tanya Nurhadi saat seminar Pembebasan tapol napol untuk mewujudkan Indonesia yang damai dan bersatu yang digelar Prima Potensia Indonesia di IKA Unpad Bandung kemarin.
Menurutnya pemerintah harus segera menyiapkan grand design termasuk berkoordinasi dari tingkat pusat hingga daerah. Selanjutnya bagaimana apa seperti di Aceh, diberikan kerja di lsm atau ngo asing dengan gaji Rp 25 juta, tapi yang dibawahnya berjumlah ratusan bahkan ribuan orang bagaimana? Atau seperti di Yogyakarta, diberikan modal lalu habis?
"Harus ada grand design, kerangka besarnya agar para tapol napol ini tidak kembali lagi atau berseberangan dengan pemerintah," kata Nurhadi.
Senada, Owyn Jamasi Jamaluddin, Direktur Laboratorium Ilmu Pengkajian Indonesia yang juga dosen UI ini mengungkapkan, pemerintah dinilai belum serius menangani tapol napol.
"Yang paling menakutkan dari tapol napol adalah pemahaman ideologi, apalagi ideologinya berbeda dengan pancasila atau nkri, kan sangat berbahaya, bukan seperti tahanan perampokan atau kriminal," katanya.
Karena itu dia berharap sudah seharusnya semua pemegang keputusan baik yudikatif maupun eksekutif (Dprd, kadis, jaksa hakim, Bupati Gubernur) idealnya bersatu menangani masalah ini.
"Tidak boleh bertentangan, yang menjadi banyak perbedaan karena ada konflik kepentingan interes," pungkas Owy. (Mal)